Minggu, 14 Juni 2009

Bourdieu

Bourdieu terus berusaha menghubungkan gagasan-gagasan teoretisnya dengan riset empiris, yang berdasarkan pada kehidupan sehari-hari. Karyanya dapat dipandang sebagai antropologi budaya atau –sebagaimana ia menyebutnya— sebuah “Teori Praktik.” Sumbangannya pada sosiologi bersifat pembuktian sekaligus teoretis (sehingga diperhitungkan melalui kedua sistem tersebut). 
Istilah-istilah kuncinya adalah habitus, ranah (field), dan kekerasan simbolik. Ia meluaskan gagasan modal (capital) ke kategori-kategori seperti modal sosial, modal budaya, dan modal simbolik. Bagi Bourdieu, setiap individu menempati suatu posisi dalam ruang sosial multidimensional. Ruang itu tidak didefinisikan oleh keanggotaan kelas sosial, namun melalui jumlah setiap jenis modal yang ia miliki. Modal itu mencakup nilai jejaring sosial, yang bisa digunakan untuk memproduksi atau mereproduksi ketidaksetaraan. 
Beberapa contoh empirisnya, misalnya, menunjukkan bahwa walaupun tampaknya ada kebebasan memilih dalam seni, preferensi artistik setiap orang (seperti: musik klasik, rock, pop, jazz, musik tradisional) secara kuat terikat pada posisi sosial mereka. 
Bourdieu juga menunjukkan, perbedaan kebahasaan seperti aksen, tata bahasa (grammar), cara pengucapan (spelling), dan gaya bahasa –yang semuanya adalah bagian dari modal budaya—merupakan faktor utama dalam mobilitas sosial. Misalnya, untuk mendapat gaji lebih besar, atau mendapat pekerjaan dengan status lebih tinggi. 
Karya Bourdieu menekankan bagaimana kelas-kelas sosial, khususnya kelas intelektual dan kelas penguasa, melestarikan keistimewaan sosial mereka lintas generasi ke generasi. Ini terlihat walaupun ada mitos bahwa masyarakat pasca-industri kontemporer menggembar-gemborkan kesamaan peluang dan mobilitas sosial yang tinggi, yang dicapai lewat pendidikan formal.

Ranah dan Habitus
Bourdieu menerima pandangan Weber bahwa masyarakat tidak bisa dianalisis secara sederhana lewat kelas-kelas ekonomi dan ideologi semata-mata. Banyak karya Bourdieu berkaitan dengan peran independen dari faktor-faktor pendidikan dan budaya. Sebagai ganti analisis masyarakat lewat konsep kelas, Bourdieu menggunakan konsep ranah (field), yakni sebuah arena sosial di mana orang bermanuver dan berjuang, dalam mengejar sumberdaya yang didambakan. 
Bourdieu memperluas kembali konsep habitus dari Marcel Mauss, walau konsep ini juga muncul dalam karya Aristoteles, Norbert Elias, Max Weber, dan Edmund Husserl. Bourdieu menggunakan konsep habitus ini dengan cara yang sistematis dalam usaha memecahkan antinomi terkenal dalam ilmu-ilmu humaniora: obyektivisme dan subyektivisme. 
Habitus dapat dirumuskan sebagai sebuah sistem disposisi-disposisi (skema-skema persepsi, pikiran, dan tindakan yang diperoleh dan bertahan lama). Agen-agen individual mengembangkan disposisi-disposisi ini sebagai tanggapan terhadap kondisi-kondisi obyektif yang dihadapinya. Dengan cara ini, Bourdieu menteorikan penanaman struktur sosial obyektif ke dalam pengalaman mental dan subyektif dari si agen. 
Ranah sosial obyektif menempatkan persyaratan-persyaratan bagi para pesertanya untuk keanggotaan, atau katakanlah demikian, dalam ranah bersangkutan. Maka, karena itu struktur sosial obyektif diserap ke dalam perangkat personal disposisi-disposisi kognitif dan somatik (somatic). Sedangkan struktur subyektif tindakan agen kemudian disetarakan dengan struktur obyektif dan urgensi yang masih ada dari ranah sosial tersebut. Maka muncullah kemudian hubungan yang bersifat doxic (doxa = semacam hymne atau pujian).

Doxa dan Habitus
Doxa adalah kepercayaan dan nilai-nilai tak sadar, berakar mendalam, mendasar, yang dipelajari (learned), yang dianggap sebagai universal-universal yang terbukti dengan sendirinya (self-evident), yang menginformasikan tindakan-tindakan dan pikiran-pikiran seorang agen dalam ranah (fields) tertentu. 
Doxa cenderung mendukung pengaturan sosial tertentu pada ranah tersebut, dan dengan demikian mengistimewakan pihak yang dominan dan menganggap posisi dominan tersebut sebagai terbukti dengan sendirinya (self-evident) dan lebih disukai secara universal (universally favorable). 
Karena itu, kategori-kategori pemahaman dan persepsi yang membentuk habitus, yang selaras dengan organisasi obyektif dari ranah bersangkutan, cenderung untuk mereproduksi struktur utama dari ranah tersebut. 
Maka Bourdieu melihat habitus sebagai kunci bagi reproduksi sosial karena ia bersifat sentral dalam membangkitkan dan mengatur praktik-praktik yang membentuk kehidupan sosial. Individu-individu belajar untuk mendambakan hal-hal yang dimungkinkan bagi mereka, dan tidak mengaspirasi hal-hal yang tidak tersedia bagi mereka. 
Kondisi-kondisi di mana individu hidup membangkitkan disposisi-disposisi (kecondongan) yang cocok dengan kondisi-kondisi tersebut (termasuk selera pada seni, sastra, makanan, dan musik), dan dalam arti tertentu mem-pra-adaptasi terhadap tuntutan-tuntutan dari kondisi tersebut.
Praktik-praktik yang paling tidak dimungkinkan dengan demikian disisihkan, sebagai hal-hal yang tak terbayangkan, lewat semacam ketundukan segera terhadap tatanan tertentu. Tatanan tersebut membuat agen-agen condong untuk mengerjakan sesuatu dengan suka hati, yaitu untuk menolak apa yang secara kategoris memang tertolak, dan untuk menghendaki hal-hal yang memang tak terhindarkan.

Mendamaikan yang Obyektif (Ranah) dan Subyektif (Habitus)
Seperti disebutkan di atas, Bourdieu memanfaatkan konsep-konsep metodologis dan teoretis tentang habitus dan ranah, dengan tujuan untuk menciptakan jeda epistemologis dari antinomi obyektif-subyektif dalam ilmu-ilmu sosial yang terkenal itu. Ia secara efektif ingin menyatukan fenomenologi sosial dan strukturalisme. 
Bourdieu ingin mendamaikan antara yang material dan simbolik, kesadaran dan ketidaksadaran, kebebasan manusia dan keterikatan oleh struktur, serta ekonomi dan budaya. Bourdieu mencoba mempertemukan antara konsep dan praktik kehidupan sehari-hari dalam masyarakat, dan dengan demikian mengatasi kesenjangan antara teori dan praktik, antara pikiran dan tindakan, serta antara ide dan realitas konkret. 
Habitus dan ranah diajukan untuk menghasilkan jeda tersebut, karena keduanya hanya bisa eksis dalam relasi satu dengan yang lain. Walau sebuah ranah itu dibentuk oleh berbagai agen sosial yang berpartisipasi di dalamnya (dan dengan demikian, di dalam habitus), sebuah habitus –sebagai dampaknya— merepresentasikan transposisi struktur-struktur obyektif dari ranah tersebut ke dalam struktur subyektif tindakan dan pikiran sang agen. 
Hubungan antara habitus dan ranah adalah relasi dua-arah. Ranah hanya bisa eksis sejauh agen-agen sosial memiliki kecondongan-kecondongan dan seperangkat skema perseptual, yang dibutuhkan untuk membentuk ranah itu dan mengaruniainya dengan makna. Seiring dengan itu, dengan berpartisipasi dalam ranah, agen-agen memasukkan pengetahuan (know-how) yang memadai ke dalam habitus mereka, yang akan memungkinkan mereka membentuk ranah. Habitus mewujudkan struktur-struktur ranah, sedangkan ranah memperantarai antara habitus dan praktik. 
Bourdieu berusaha menggunakan konsep habitus dan ranah untuk menghapuskan pemisahan antara yang subyektif dan yang obyektif. Apakah Bourdieu berhasil atau gagal dalam usahanya itu, masih terbuka untuk diperdebatkan. 
Bourdieu menegaskan bahwa setiap riset harus terdiri dari dua rincian. Yang pertama adalah tahap obyektif riset –di mana kita melihat relasi-relasi pada ruang sosial dan struktur-struktur ranah. 
Sedangkan tahap kedua harus merupakan analisis subyektif terhadap disposisi-disposisi agen sosial untuk bertindak, serta kategori-kategori persepsi dan pemahaman yang muncul dari kesertaan (inhabiting) di dalam ranah. Riset yang memadai, menurut Bourdieu, tidak dapat dilakukan tanpa keberadaan dua hal tersebut bersamaan.
Modal Simbolik dan Kekerasan Simbolik
Bagi Marx, “modal (capital) bukanlah sebuah relasi sederhana, melainkan sebuah proses, di dalam mana berbagai gerakan adalah selalu (berupa) modal.” 
Bourdieu melihat modal simbolik atau symbolic capital (seperti: harga diri, martabat, atensi) merupakan sumber kekuasaan yang krusial. Modal simbolik adalah setiap spesis modal yang dipandang melalui skema klasifikasi, yang ditanamkan secara sosial. Ketika pemilik modal simbolik menggunakan kekuatannya, ini akan berhadapan dengan agen yang memiliki kekuatan lebih lemah, dan karena itu si agen berusaha mengubah tindakan-tindakannya. Maka, hal ini menunjukkan terjadinya kekerasan simbolik (symbolic violence). 
Contohnya bisa terlihat, ketika seorang gadis membawa pacarnya ke rumah orangtua si gadis. Orangtua si gadis, yang menganggap si pemuda ini tidak pantas disandingkan dengan anak perempuan mereka, menunjukkan wajah dan tindakan yang menandakan rasa kurang senang. Simbol-simbol ini menyampaikan pesan bahwa si gadis tidak akan diizinkan meneruskan hubungannya dengan sang pacar. Namun, orangtua si gadis tidak secara paksa atau eksplisit menyatakan ketidaksetujuannya. 
Orang mengalami kekuasaan simbolik dan sistem pemaknaan (budaya) sebagai sesuatu yang sah (legitimate). Maka, si gadis sering akan merasa wajib memenuhi tuntutan orangtuanya yang tak terucapkan, tanpa memperdulikan kebaikan sebenarnya dari si pemuda pelamarnya. Gadis itu dibuat menyalahartikan atau tidak mengenali hakikat si pemuda. 
Lebih jauh, dengan memandang kekerasan simbolik yang dilakukan orangtuanya sebagai sesuatu yang sah, gadis itu ikut terlibat dalam ketundukannya (subordination) sendiri. Rasa kewajiban telah berhasil memaksanya secara lebih efektif, ketimbang yang dapat dilakukan oleh teguran atau omelan eksplisit dari si orangtua. 
Kekerasan simbolik pada dasarnya adalah pemaksaan kategori-kategori pemikiran dan persepsi terhadap agen-agen sosial terdominasi, yang kemudian menganggap tatanan sosial itu sebagai sesuatu yang “adil.” Ini adalah penggabungan struktur tak sadar, yang cenderung mengulang struktur-struktur tindakan dari pihak yang dominan. Pihak yang terdominasi kemudian memandang posisi pihak yang dominan ini sebagai yang “benar.” 
Kekerasan simbolik dalam arti tertentu jauh lebih kuat daripada kekerasan fisik, karena kekerasan simbolik itu melekat dalam setiap bentuk tindakan dan struktur kognisi individual, dan memaksakan momok legitimasi pada tatanan sosial. 
Dalam tulisan-tulisan teoretisnya, Bourdieu menggunakan beberapa terminologi ekonomi untuk menganalisis proses–proses reproduksi sosial dan budaya, tentang bagaimana berbagai bentuk modal cenderung untuk ditransfer dari satu generasi ke generasi berikutnya. 
Bagi Bourdieu, pendidikan formal mewakili contoh kunci proses ini. Keberhasilan pendidikan, menurut Bourdieu, membawakan keseluruhan cakupan perilaku budaya, yang meluas sampai ke fitur-fitur yang seakan-akan bersifat non-akademis, seperti: gaya berjalan, busana, atau aksen.
Anak-anak dari kalangan atas (privileged) telah mempelajari perilaku ini, sebagaimana juga guru-guru mereka. Sedangkan anak-anak berlatar belakang kalangan bawah tidak mempelajarinya. Anak-anak kalangan atas dengan demikian –tanpa banyak kesulitan-- cocok dengan pola-pola yang diharapkan oleh guru-guru mereka. Mereka terkesan “patuh.” Sedangkan anak dari kalangan bawah terlihat “sulit diatur,” bahkan “suka menentang.” Bagaimanapun, kedua macam anak ini berperilaku sebagaimana yang didiktekan oleh latar belakang asuhannya. 
Bourdieu menganggap, “kemudahan” atau kemampuan “alamiah” –pembedaan (distinction)-- pada faktanya adalah produk dari kerja sosial yang berat, yang sebagian besar dilakukan para orangtua mereka. Hal itu melengkapi anak-anak mereka dengan kecondongan-kecondongan perilaku serta pikiran, yang memastikan mereka sanggup berhasil dalam sistem pendidikan, dan kemudian dapat mereproduksi posisi kelas orangtuanya dalam sistem sosial yang lebih luas. 
Modal budaya (seperti: kompetensi, keterampilan, kualifikasi) juga dapat menjadi sumber salah-pengenalan dan kekerasan simbolik. Karena itu, anak-anak dari kelas pekerja dapat melihat keberhasilan pendidikan teman sebayanya --yang berasal dari kelas menengah-- sebagai sesuatu yang selalu sah. Mereka melihat hal yang sering merupakan ketidaksetaraan berdasarkan kelas, dilihat sebagai hasil kerja keras atau bahkan kemampuan “alamiah.” 
Bagian kunci dari proses ini adalah transformasi warisan simbolik atau ekonomi seseorang (seperti: aksen atau harta milik) menjadi modal budaya (seperti: kualifikasi universitas) –suatu proses di mana logika ranah-ranah budaya dapat menghalangi atau menghambat, tetapi tidak dapat mencegah.

Penerapan Teori Pierre Bourdieu dalam kehidupan Remaja
Remaja merupakan bagian dari masyarakat yang sangat menarik untuk dibicarakan, karena remaja memiliki banyak hal yang menarik untuk diteliti.
asa remaja adalah masa transisi, dimana peralihan dari masa anak-anak menuju masa dewasa. Pada masa ini remaja banyak mendapatkan goncangan dikarenakan bbanyak hal dilematis yang harus mereka hadapi. Pada satu sisi remaja dikatakan tidak dapat menyelesaikan masalahnya sendiri, dan disisi lain remaja menganggap dirinya mampu menyelesaikan masalahnya sendiri tanpa campur tangan dari orang disekitarnya, hal inilah sebagai salah satu penyebab ketergoncangan remaja.
Sikap dan tingkah laku remaja, pada dasarnya disesuaikan dengan masa dan lingkungan yang ada disekitarnya. Tidak bisa seseorang mengatakan, kenapa remaja sekarang begini tidak seperti dulu dan sebaliknya. Mungkin bagi seorang sosiolog, pemikiran seperti itu sangat kolot dan tidak dipahami dari situasi dan kondisi yang ada. Remaja sebagai agen dalam pemikiran Bourdieu, bersikap dan bertingkah laku ataupun berbicara yang menjadi ciri suatu remaja pada satu waktu adalah sosialisasi, dimana remaja sebagai makhluk sosial dari sejak kecil, belajar makan, berbicara, berpakaian, dan lain sebagainya adalah merupakan hasil dari ia berinteraksi dari lingkungan sosial yang ada disekitarnya, sehingga terkadang semua yang ada di dalam diri remaja itu adalah cerminan dari struktur sosial yang ada di sekitarnya. Apa yang ia pelajari lalu ia terapkan dalam kehidupan sosial dan berlangsung terus menerus sehingga apa yang ia pelajari itu terinternalisasi dalam dirinya, sehingga menjadi habitus yang menjadikan remaja ataupun masyarakat lainnya berbeda.
Apalagi jika berbicara remaja sekarang, dulu, desa, ataupun kota, cukup jelas sekali. Pada masa-masa 1980-an dan sebelumnya remaja sangat menurut dengan apa yang dikatakan orang tua ataupun orang lain yang lebih tua darinya, kehidupannya pun sangat sederhana, pulang sekolah membantu orang tua, dan setelah itu langsung pergi ke surau untuk mengaji, karenaga tidak banyak yang bisa dilakukan oleh remaja pada masa itu. Hal ini juga menggambarkan remaja desa yang tidak banyak memiliki kesempatan dalam menikmati kehidupan sebagai remaja.
Lain halnya dengan remaja pada zaman sekarang, kebebasan pemikiran yang memang menjadi landasan di suatu negara, khususnya Indonesia, menjadikan generasi muda semakin bebas berpikir dan merasa dapat bertindak bebas pula. Sebagai contoh, remaja dalam suatu wadah tertentu, lebih banyak menghabiskan waktu untuk hura-hura, berkumpul membicarakan hal yang tidak penting ataupun sekedar makan maupun jalan. Teknologi yang maju menjadikan banyak perubahan dalam perilaku remaja. Gambaran remaja yang hedonis dalam media televisi dalam bentuk sinema elektronik (Sinetron), hal itu mereka lihat dan secara tidak langsung mereka lakukan dan lambat laun masuk ke dalam diri mereka, sehingga perilaku mereka pun menjadi hedoinis pula.
Pergaulan remaja yang sekarang juga banyak dikaitkan dengan seks bebas, pada dasarnya diperoleh remaja dari lingkungan sosialnya, baik dari teknologi yang semakin maju, maupun lingkungan sosial yang dekat dengan remaja, atau dengan kata lain lingkungan sosial sangat berperan dalam menjadikan habitus remaja, khususnya keluarga.

0 komentar:

Template by : kendhin x-template.blogspot.com