Minggu, 14 Juni 2009

Reality Show Sebagai Pilihan Pemirsa

Media televisi saat ini tidak lagi menjadi sarana komunikasi yang menyuguhkan informasi berita tentang pemerintahan, politik, hukum, ekonomi dan berbagai kejadian yang terjadi seputar masalah sosial maupun bencana perang maupun alam yang terjadi di dalam dunia keseharian. Atau sekedar menyuguhkan hiburan berupa film, drama, sinetron yang penuh dengan action melankolis, kemesraan, hantu, perang dan berbagai skenario yang dibangun untuk meraih rating tinggi lantaran disukai dan ditonton oleh banyak pemirsa. Akan tetapi, trend menunjukan beberapa perubahan terkait dengan hal menghibur ini. Dari dunia pertelevian apabila kita cermati dengan seksama maka akan menemui suatu kenyataan bahwa media televisi akhir-akhir ini diramaikan dengan aktivitas yang menampilkan realitas yang menghibur dari suatu “kejadian nyata” atau yang lebih dikenal dengan reality show.
Di sejumlah media televisi swasta yang sering ditonton masyarakat dapat disebutkan beberapa acara reality show. Bahkan dalam satu hari saja, misalnya di hari Minggu beberapa acara reality show ditayangkan di stasiun televisi, sebut saja “Jumpa Fans”, “Jika Aku Menjadi”, “Termehek-mehek”, “John Pantau”, “Happy Family Me and Mom” (Trans TV), “Cinta Lama Bersemi Kembali” (SCTV), “Pacar Usil” , “My Spesial Date”, “Hari yang Aneh” (Anteve). Selain itu ada beberapa acara reality show yang ditampilkan di hari selain Minggu seperti “Bedah Rumah” (RCTI) “Orang Ketiga” (Trans TV), “Cinta Lokasi”, “Cinta Pertama”, “Kontak Jodoh” (SCTV), “Kena Deh” (Anteve). Awal mula semarak acara reality show dengan acara yang menghibur ini ditandai dengan reality show yang menampilkan audisi (penjaringan) bakat bernyanyi yang kemudian booming ke permukaan seperti “Indonesian Idol” (disiarkan di RCTI) yang diimpor dari produksi Amerika Serikat, “American Idol” yang kemudian diikuti dengan program serupa di sejumlah setasiun TV lainnya kemudian diikuti perkembangan acara-acara yang menampilkan reality baik yang menyedihkan, menggembirakan, menyenangkan maupun mentragiskan. Semua dikemas dalam sebuah acara yang menarik diangkat dari realitas yang tampak nyata dan alami (natural).
Pada awal kemunculan dengan rating yang cukup tinggi, membuat produsen menemukan format baru untuk meraih keuntungan dengan menampilkan tontonan sesuai selera pasar. Meski masih tergolong baru, reality show telah menunjukan keberhasilannya dalam menarik perhatian pemirsa televisi sehingga menjadi lahan yang potensial untuk mendapatkan rating tinggi, melimpahnya keuntungan atau laba yang sebesar-besarnya. Akan tetapi, permasalahan utamanya bukan sekedar pada ekspolitasi besar-besaran demi keuntungan yang dikeruk oleh pihak produsen. Lebih dari itu, muncul permasalahan baru yang mengiringi kemunculan alternatif acara pilihan pemirsa tersebut.
Reality Show Sebagai Simulacra
Apabila dilihat dari aspek teori Sosiologi Postmodernisme fenomena atas reality show sangat lazim terjadi di era postmodern yang menurut Fredric Jameson (dalam Ritzer, 2003: 105) ditandai dengan teknologi yang implosif, mendatar dan reproduktif (misalnya, televisi). Dan disinilah salah satu letak perbedaan -selain faktor selainnya- masyarakat postmodern dengan modern. Bahkan menurut Jean Baudillard (dalam Ritzer, 2003: 641), masyarakat saat ini sudah tidak lagi didominasi oleh produksi tetapi lebih didominasi oleh “media, model sibernetika dan sistem pengemudian, komputer, pemrosesan informasi, industri hiburan dan pengetahuan, dan lainnya”
Tujuan telah bergeser dari eksploitasi dan keuntungan ke tujuan yang ditentukan oleh tanda dan sistem yang menghasilkannya. Selanjutnya meski tanda itu diartikan sebagai suatu kenyataan dan menunjuk pada tanda itu sendiri dan yang lain, namun saat ini sejatinya tanda menunjukan pada dirinya sendiri. Kita tak dapat mengatakan apa yang nyata itu, perbedaan antara tanda dan realitas telah kabur. Dan masyarakat postmodern ditandai oleh ledakan dari dalam seperti yang dapat dibedakan dari ledakan karena tekanan dari luar (ledakan sistem, produksi, komoditi, teknologi dan sebagainya) yang menandai masyarakat modern.
Menurutnya, kehidupan postmodern saat ini ditandai dengan simulasi. Proses ini mengarah kepada penciptaan simulacra atau “reproduksi objek dan atau peristiwa”. Dengan kaburnya perbedaan antara tanda dan realitas, maka semakin sukar mengenali yang tulen dari barang tiruan. Contoh dari simulacra ini adalah “larutnya TV ke dalam kehidupan dan larutnya kehidupan ke dalam TV”. Akhirnya simulasilah yang menggambarkan sesuatu yang nyata, menjadi utama, yang berkuasa. Kita menjadi budak simulasi, “yang membentuk sistem lingkaran yang tak berujung pangkal”.
Dengan mengambil pernyataan teori Baudrillard tersebut, maka dapat dikatakan bahwa reality show merupakan salah satu contoh yang tepat untuk menjelaskan teori yang dibangun berdasarkan permasalahan sosial kontemporer masyarakat yang terjadi saat ini. Reality show merupakan tampakan penciptaan simulacra dimana ia merupakan reproduksi atas objek atau peristiwa yang dialami oleh seseorang. Sebagai satu contoh adalah acara “Termehek-mehek” di Trans TV yang berprestasi mendapatkan rating tertinggi AC Nielsen dengan share pemirsa terbanyak pada jam tayangnya (Suara Merdeka, 04/01/09). Dalam setiap episode acara ini selalu yang menampilkan cerita yang diangkat dari cerita nyata dengan alur menarik. Misalnya episode kisah seorang nenek yang telah lama berpisah dan merasa kehilangan suami pejuang yang diyakini telah hilang padahal sang suami hanya diasingkan ke suatu daerah oleh penjajah. Dan melalui perjuangan panjang dari anak-anaknya yang berburu informasi daftar pahlawan di pemerintahan akan tetapi tidak menemukan data yang dimaksud. Maka menumbuhkan keyakinan bahwa sang suami belum meninggal dunia. Akhirnya berlanjutlah perburuan informasi ke daftar tahanan-tahanan negara penjajah, Belanda dan didapatilah nama yang dimaksud disana bahwa nama yang dimaksud merupakan seorang pejuang yang dibuang ke daerah lain. Maka setelah ditelusuri dalam proses pencarian akhirnya sang nenek dapat bertemu kembali setelah berpuluh-puluh tahun merindukannya.
Sekilas lalu barangkali kita dapat mengatakan kisah itu adalah kenyataan yang terjadi. Akan tetapi, tidak dapat dipungkiri di dalam “kenyataan” itu tentu saja ada yang namanya dramatisasi yang dijalankan oleh media. Sehingga tampak lebih realistis daripada realitanya sendiri.
Terbentuknya Hypereallity
Penggemar reality show berpendapat bahwa letak kelebihan dari drama atau sinetron, reality show adalah di dalam ceritanya based on true story sedangkan sinetron atau sejenisnya adalah rekaan yang penuh dengan skenario sutradara. Padahal reality show hanyalah membingkai ulang kenyataan. Sehingga reality show tidaklah murni realitas karena telah melalui pemolesan oleh Production House (PH) sebagaimana sinetron dan sejenisnya. Di dalamnya ada peran protagonis, antagonis, klimaks dan antiklimaks. Sehingga unsur-unsur melodramatik itulah yang menjadikan perasaan pemirsa campur aduk: jengkel, marah, sedih, terharu mengikuti alur reality show yang ditonton. Disinilah letak “keberhasilan” reality show dalam merekayasa realitas dengan bingkai yang menarik di bawah label reality show hingga pemirsa tidak hanya percaya apa yang ditontonkan adalah kenyataan akan tetapi juga telah ikut terlibat di dalamnya. Cerita yang disuguhkan mengharu biru, menggembirakan dan menghibur tidak jauh berbeda dengan sinetron atau drama sejenisnya dapat melarutkan pula perasaan dari pemirsa. Fakta ini ditunjukan oleh kenyataan baru bahwa reality show telah menjadi pelarian seseorang dari kenyataan kehidupannya sehari-hari yang penuh dengan permasalahan yang semakin menghimpit. Sehingga merekapun terlibat dan larut dalam dunia televisi dan begitupun sebaliknya.
Menurut Baudrillard inilah lukisan dari kehidupan postmodernisme yaitu terbentuknya hiperrealitas (realitas semu). Dengan contoh reality show ini dapat dikatakan media televisi sebenarnya berhenti menjadi cerminan realitas, tetapi justru menjadi realitas itu sendiri, atau bahkan lebih nyata dari realitas itu sendiri. Televisi tidak lagi menjadi sekedar pembawa berita dan acara diskusi tetapi lebih dari itu menyuguhkan hiburan yang menjadi realitas baru. Akibatnya adalah bahwa apa yang real (nyata) itu disubordinasikan dan akhirnya dilarutkan sama sekali. Dramatisasi yang dilakukan melalui alur yang penuh aksi dramatis, secara umum dikendalikan oleh rumah produksi yang membuatnya bukan lagi oleh pelaku utama yang mempunyai cerita. Akhirnya menjadi mustahil membedakan yang nyata dari yang sekedar tontonan. Dalam kehidupan nyata masyarakat pemirsa reality show, kejadian-kejadian nyata semakin mengambil ciri hiperriil (hyperreal). Tidak ada lagi realitas yang ada hanyalah hiperealitas.
Dampak yang dihasilkan dari hiperreality adalah adanya kepercayaan masyarakat terhadap kenyataan yang sebenarnya bukan kenyataan. Pembodohan atas realitas ini dapat menghasilkan pola budaya yang mudah meniru (imitasi) apa yang dilihatnya sebagai sebuah kenyataan di media televisi direalisasikan dalam kehidupan keseharian. Serta terbentuknya pola pikir yang serba instans, membentuk manusia yang segala sesuatunya ingin cepat saji. Meski tidak dapat dipungkiri bahwa dengan adanya realitas yang tersajikan dengan citra yang menghibur itu dapat menumbuhkan semangat dalam masyarakat untuk berbuat demi kemanusiaan seperti kepeduliaan terhadap sesama. Akan tetapi, tetap saja komoditas atas kepentingan keuntungan yang tersaji dari bingkai realitas dalam media mengalahkan nilai, makna yang bermanfaat bagi masyarakat.

0 komentar:

Template by : kendhin x-template.blogspot.com