Senin, 15 Juni 2009

Definisi singkat pembangunan (modernisasi)

Secara filosofis, pembangunan bisa diartikan sebagai suatu upaya manusia atau sekolompok manusia dengan berbagai macam sistem di dalamnya untuk mengatasi batas-batas kemanusiaan. Dengan kata lain, pembangunan adalah upaya dari pemerintah suatu negara untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakatnya. Suatu negara dapat dikatakan gagal apabila negara tersebut tidak mampu memenuhi tanggung jawab ini. Dan suatu negara dikatakan berhasil apabila tingkat kemakmuran penduduk negara tersebut relatif tinggi karena kemakmuran, mengindikasikan terpenuhinya berbagai macam kebutuhan.

Pengukuran tingkat kemakmuran ini biasanya dilakukan dengan cara melihat pendapatan perkapita suatu negara. Menurut standar Bank Dunia, suatu negara dikatakan miskin apabila pendapatan perkapitanya di bawah sekitar 712 US$. Dalam standar ini, Indonesia masih berada dalam garis kemiskinan. Untuk mengukur perkembangan dan kemajuan pembangunan, ukuran yang biasa dilakukan adalah dengan melihat tingkat pertumbuhan ekonomi suatu negara. Tetapi pendapatan perkapita dan pertumbuhan ekonomi ini tidak cukup untuk melihat tingkat keberhasilan pembangunan karena tingkat rataan pendapatan tidak menunjukkan seberapa besar kemakmuran yang diterima oleh sebagian besar penduduk suatu negara. Bisa saja terjadi, sekelompok kecil penduduk suatu negara menerima lebih dari 80% total pendapatan negara, dan sebagian besar lainnya berebut mengais sisa-sisa pembangunan. Pendapatan perkapita yang tinggi tidak secara aksiomatis menjamin kemakmuran bagi seluruh penduduk negara. Oleh karena itu dibutuhkan perangkat pengukuran lain untuk melihat seberapa jauh tingkat pemerataan kemakmuran dalam suatu negara. Pembagian hasil pembanguna dikatakan merata apabila 20% penduduk negara terkaya mendapatkan kurang dari 40% total pendapatan nasional, sedangkan kemamuran suatu negara dikatakan tidak merata apabila 20% terkaya mendapatkan lebih dari 80% total pendapatan nasional. Indonesia dalam ukuran ini tentu saja dapat dikategorika sebagai negara dengan teingkat pemerataan kemakmuran yang rendah.

Teori modernisasi

Setelah melihat secara singkat definisi pembangunan, mari kita lihat beberapa teori pembangunan yang berusaha menjelaskan persoalan keterbelakangan yang dialami Dunia Ketiga—tentu saja hanya sekilas lalu. Secara garis besar, terdapat dua macam teori yang berbeda dalam usahanya menjawab pertanyaan ini. Kelompok teori yang pertama adalah teori modernisasi, sedangkan yang kedua bisa disebut sebagai teori struktural. Kelompok teori modernisasi pada umumnya mengatakan bahwa masalah internal Dunia Ketiga adalah keterbelakannya, sedangkan teori ketergantungan beranggapan bahwa keterbelakangan negara Dunia Ketiga disebabkan oleh faktor-faktor eksternal. Pada bagian ini saya ingin memperkenalkan tiga teori utama modernisasi dari Roy Harrod, Max Weber, dan W.W. Rostow.

Kesimpulan Roy Harrod mengenai penyebab keterbelakangan Dunia Ketiga adalah kesimpulan yang sangat mendominasi para teoritisi pembangunan kelompok modenisasi. Teori ini masih sangat berpengaruh sampai sekarang meskipun sudah mengalami perkembangan yang canggih. Roy Harrod mengatakan bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi berbanding lurus dengan tingkat tingkat tabungan dan investasi. Masalah pembangunan dengan demikian adalah masalah penambahan investasi modal sehingga keterbelakangan adalah masalah kekurangan modal. Berdasarkan pada model ini, ahli pembangunan Dunia Ketiga beranggapan bahwa untuk memecahkan masalah keterbelakangan, pemerintah dalam negri harus mencari modal, baik dari dalam maupun luar negri, untuk membiayai pembangunan.

Max Weber berpendapat lain. Dia mengatakan bahwa keberhasilan suatu pembangunan tidak ditentukan oleh faktor-faktor murni ekonomi melainkan faktor nilai-nilai budaya tempat pembangunan tersebut berlangsung. Dengan asumsinya ini, Weber kemudian membuat suatu rumusan pembangunan yang secara empiris sukses di Amerika Serikat dan Eropa. Tingginya tingkat keberhasilan pembangunan di Eropa dan Amerika Serikat ini dituliskan Weber dalam bukunya yang sangat terkenal The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism. Seperti tercermin dalam judul bukunya, Weber mengatakan bahwa kunci keberhasilan pembangunan di Eropa dan Amerika Serikat adalah apa yang disebutnya sebagai etika protestan. Etika ini bersumber pada keyakinan agama protestan yang mengatakan bahwa takdir seseorang—baik di dunia maupun di akhirat—sudah ditentukan sebelum dia lahir ke dunia. Tetapi takdir tersebut tentu saja dirahasiakan oleh Tuhan dari pengetahuan manusia sehingga memunculkan mekanisme kecemasan. Manusia dengan etika Protestan adalah manusia yang selalu berusaha mengatasi kecemasan itu dan jalan untuk mengatasinya telah disediakan. Dalam etika ini, cermin nasib manusia di akhirat adalah nasibnya di dunia. Kesuksesan di dunia berarti keselamatan di akhirat sehingga manusia dengan etika Protestan akan selalu bekerja keras untuk keselamatan di akhirat. Mereka bekerja tanpa pamrih yang artinya mereka bekerja bukan untuk mencari kekayaan material melainkan pengatasan atas situasi cemas. Inilah yang kemudian menjadi faktor kemunculan dan keberhasilan kapitalisme di Eropa dan Amerika Serikat. Negara-negara Dunia Ketiga dalam pandangan tradisi Webberian ini tidak memiliki atau tidak mengembangkan semangat-semangat yang sama. Untuk dapat mencapai keberhasilan seperti di Eropa dan Amerika Serikat, negara Dunia Ketiga harus menemukan semangat sejenis dalam kebudayaan mereka. Jepang menjadi negara yang berhasil pembangunan materialnya karena mempunyai agama atau mungkin etika Tokugawa yang mirip dengan etika Protestan.

Teori ketiga dalam tradisi modernisasi adalah teori Lima Tahap Pembangunan dari W.W. Rostow. Teori ini mencapai puncak kejayaannya pada tahun 1960-1970an, bahkan mantan Presiden Soeharto pernah mengundangnya untuk ikut merumuskan model pembangunan di Indonesia. Menurut Rostow, perkembangan sejarah manusia terbagi menjadi lima tahap yaitu, masyarakat tradisional, pra-lepas landas, lepas landas, masyarakat dewasa, dan yang terakhir konsumsi masal yang tinggi.

a. Masyarakat Tradisional. Masyarakat jenis ini adalah masyarakat dengan sedikit ilmu pengetahuan sehingga mereka masih dikuasai oleh kepercayaan-kepercayaan tentang kekuatan di luar manusia. Manusia tradisional adalah masyarakat yang dikuasai oleh alam sehingga tingkat produktivitas masih sangat terbatas. Produksi hanya dipakai untuk konsumsi dan tidak ada investasi.
b. Pra-Lepas Landas. Perkembangan dari masyarakat tradisional ke pra-lepas landas terjadi karena camp[ur tangan pihak luar. Perubahan-perubahan ini tidak terjadi karena faktor-faktor internal dalam masyarakat tersebut. Masyarakat tradisional adalah manusia –manusia ‘biasa’ yang menunggu sang Messiah yang akan menyelamatkan mereka. Dan sang Messiah tersebut adalah pihak luar yang datang membawa modal. Kedatangan pihak luar ini menggoncangkan sistem masyarakat tradisional secara keseluruhan sehingga memunculkan stimulan untuk perubahan. Investasi sudah mulai dilakukan dan peningkatan produksi mulai terjadi.
c. Lepas landas. Periode lepas landas merupakan periode di mana hambatan-hambatan pembangunan sudah tersingkirkan. Pendapatan nasional juga mulai meningkat dan perkembangan industri pun maju dengan pesat. Dalam bidang pertanian, hasil-hasil pertanian mulai ditujukan untuk mencari keuntungan, bukan sekedar untuk konsumsi pribadi.
d. Bergerak ke kedewasaan. Pada periode ini, negara dengan tingkat kedewasaan menjadi negara dengan posisi yang kuat dalam perdagangan internasional. Barang-barang yang pada mulanya diimpor sekarang telah diproduksi sendiri, dan impor baru menjadi kebutuhan. Sementara itu, neraca perdagangan telah seimbang karena ekspor menjadi meningkat.
e. Konsumsi tinggi. Masyarakat konsumsi tinggi ditandai dengan peningkatan kebutuhan tidak hanya kebutuhan pokok. Investasi untuk meningkatkan produksi sudah tidak lagi menjadi prioritas utama. Masyarakat ini mempunyai kewajiban etis untuk menolong masyarakat tradisional lepas dari ketradisionalan mereka.

Teori struktural

Teori modernisasi mempunyai satu kesamaan di antara mereka yaitu bahwa keterbelakangan yang di alami Dunia ketiga terjadi karena mereka memang terbelakang. Berbeda dengan teori modernisasi, teori struktural mengatakan bahwa Dunia Ketiga menjadi terbelakang karena struktur eksternal. Dalam bidang pembangunan, teori ini dipelopori oleh Raul Prebisch yang membantah asumsi dasar teori Pembagian Kerja Internasional. Prebisch menunjukkan bahwa nilai tukar komoditi pertanian terhadao komoditi barang industri tidaklah seimbang. Barang-barang ternyata mempunyai nilai tukar yang lebih besar dibanding barang-barang pertanian. Ada tiga sebab mengapa hal ini bisa terjadi;
a. Permintaan untuk barang-barang pertanian tidaklah elastis. Pendapatan yang meningkat menyebabkan prosentase konsumsi makanan terhadap pendapatan justru menurun. Artinya, pendapatan yang naik tidak akan menaikkan konsumsi untuk makanan, tetapi justru menaikkan konsumsi barang-barang industri. Akibatnya, anggaran negara pertanian yang digunakan untuk mengimpor barang-barang industri dari negara pusat akan semakin meningkat, sedangkan pendapatan dari ekspor barang hasil pertanian tetap.
b. Negara-negara industrial sering memproteksi hasil pertanian mereka sehingga sulit bagi negara pertanian untuk mendapatkan pasar.
c. Kebutuhan bahan mentah bisa dikurangi oleh negara industrial karena perkembangan teknologi memungkinkan mereka untuk menggunakan bahan sintesis sebagai bahan dasar.

Faktor-faktor ini mengakibatkan ketimpangan kemakmuran antara negara industrial dan negara pertanian. Prebisch menyimpulkan bahwa negara pertanian harus menjadi negara industri. Industrialisasi ini dimulai dengan industri subtitusi impor. Barang-barang yang tadinya diimpor, harus bisa diproduksi sendiri. Industri-industri baru ini harus mendapatkan proteksi dari pemerintah sampai mereka cukup kuat untuk bersaing dengan industri negara maju.
Teori struktural kedua yang sangat besar pengaruhnya adalah teori Ketergantungan dari Andre Gunder Frank dan Dos Santos. Berbeda dengan Prebisch yang menekankan faktor ekonomi, Frank menekankan faktor politis yang menyebabkan Dunia Ketiga menjadi terbelakang. Frank membagi negara-negara dunia menjadi dua bagian, core state dan pheripheral state. Kaum borjuasi di negara pusat bekerja sama dengan pemerintah dan borjuasi lokal. Sebagai akibat dari kerjasama antara modal asing dengan pemerintah ini, muncullah kebijakan-kebijakan yang menguntungkan borjuasi lokal yang dominan, sedangkan rakyat banyak terlupakan. Dalam keadaan seperti ini, menggalakkkan pembangunan dengan memperkuat borjuasi lokal jelas merupakan usaha yang sia-sia karena, kaum ini sangat bergantung dari adanya modal asing. Akumulasi modal dari keuntungan akan diserap oleh pemodal asing sehingga trickle down effect yang diharapkan tidak akan terjadi. Hubungan ini menjadi dilematis melihat kenyataan bahwa industrialisasi di negara-negara pinggiran tidak akan terjadi tanpa kerja sama dengan modal asing. Mengapa?
a. Pertumbuhan ekonomi suatu negara pinggiran secara makro akan lebh mudah didapatkan jika negara tersebut bekerja sama dengan modal asing.
b. Modal asing yang datang dari negara maju membantu mereka mendapatkan pasar sedangkan kalau hubungan ini diputus, maka negara pinggiran dan borjuasi lokalnya harus bekerja keras mendapatkan pasar dan melawan barang-barang industri raksasa dari negara pusat.
c. Industrialisasi ini membutuhkan teknologi yang canggih. Barang-barang modal seperti mesin yang dibutuhkan untuk industrialisasi sering tidak dijual sebagai komoditi melainkan disewakan. Barang ini pun tidak bisa diproduksi sendiri karena sudah dipatenkan. Kalau pun barang ini diperjual belikan, pemerintah negara pinggiran membutuhkan valuta asing untuk membelinya sementara valuta asing ini semakin sulit didapatkan karena penurunan nilai tukar barang pertanian terhadap barang industri seperti yang dijelaskan Prebisch. Hal ini semakin menyebabkan membengkaknya biaya produksi sementara keuntungan terus diserap oleh negara-negara maju.

Evaluasi pembangunan (di) Indonesia

Suatu teori selain mempunyai kekuatan untuk menjelaskan suatu peristiwa juga punya kekuatan untuk menggerakkan. Suatu pilihan terhadap teori juga merupakan suatu pilihan terhadap tindakan. Seperti yang nampak pada anekdot di atas, Indonesia nampaknya lebih memilih menggunakan teori modernisasi. Indonesia selalu dijelaskan melalui ketiadaan, ketiadaan modal, ketiadaan pendidikan, ketiadaan kemakmuran, dan seterusnya.

Saya berpendapat bahwa pilihan ini terjadi sebagai manifestasi jejak-jejak kolonial. Kolonialisme bermula dari suatu studi tentang ketimuran (orientalisme) oleh Barat. Tersimpul dalam studi itu, orang Timur adalah kumpulan orang-orang tdak beradab dengan logika yang tidak lurus, orang-orang dengan kekejaman yang tidak mengenal hak asasi manusia, sehingga dengan demikian mereka perlu untuk diperadabkan. Misi kolonialisme seperti dikatakan oleh Ernest Renan adalah misi pemberadaban yang membawa berkah bagi ras-ras rendahan. Struktur seperti ini juga nampak dalam teori-teori pembangunan pasca kolonial. Bangsa yang pada mulanya dianggap tidak beradab sekarang diperlakukan sebagai bangsa yang miskin sehingga perlu dimakmurkan. Tetapi sebagaimana hubungan kolonial yang memunculkan distorsi, pembangunan sebagai medium pertemuan negara maju dan negara terbelakang juga memunculkan distorsi. Pengetahuan nampaknya lebih merupakan alat kuasa dari pada alat penjelasan. Maksuknya intervensi negara maju dengan modalnya terhadap negara terbelakang dilegitimasi oleh teori pembangunan.

Pada masa Orde Baru, kuasa pengetahuan ini nampak dengan tingkat kejelasan yang paling klimaks. Soeharto sebagai orang yang berkuasa pada saat itu mengundang ahli-ahli pembangunan dan ahli politik seperti Rostow dan Huntington. Hasilnya adalah model pembangunan jangka panjang dan pendek dengan jargon pemerataan, pertumbuhan, dan stabilitas. Soeharto juga mengirim orang-orang kepercayaannya untuk belajar di Universitas Berkeley yang kemudian menjadi mentri-mentri utamanya dan terkenal dengan sebutan mafia Berkeley.

Aplikasi teori Rostow mengenai perkembangan masyarakat nampak jelas dalam model pembangunan Soeharto. Yang pertama, dia membuat Undang-Undang Penanaman Modal Asing untuk membuka Messiahisme dari negara maju. Dengan terbukanya Indonesia terhadap modal asing ini, muncullah kemudian perusahaan-perusahaan multi nasional yang beroperasi di sejumlah daerah. Soeharto juga membuka utang terhadap organisasi-organisasi donatur dunia. Utang ini kemudian diberikan kepada pengusaha-pengusaha China yang dianggap lebih modern dibanding borjuis lokal yang masih tradisional dan feodal. Ini adalah wujud kepercayaan Soeharto terhadap efektifitas pengusaha China dan juga kepercayaan Soeharto akan munculnya trickle down effect setelah pengusaha China tersebut cukup kuat. Distosi ini mulai terjadi ketika meknisme trickle down effect tidak terjadi, mucl perlawanan dari daerah terhadap pusat sehingga demokratisasi sebagai dampak kemakmuran tidak muncul. Stabilitas yang menjadi prioritas akhir kemudian menjadi prioritas utama dengan dwi fungsi ABRI sebagai alat untuk menegaskan tujuan tersebut.

Tahun 1998 telah membangunkan orang Indonesia dari tidur dogmatisnya setelah di nina bobokkan oleh teori-teori modernisasi. Tetapi kuasa pengetahuan selalu menemukan jalannya untuk tetap berkuasa. Saya sekarang harus mencurigai kata-kata yang begitu wah seperti good governance, pemberantasan korupsi, demokratisasi, civil society dan istilah-istilah lain sejenis. Akankah munculnya istilah ini menandai babak baru kuasa pengetahuan yang meniadakan

0 komentar:

Template by : kendhin x-template.blogspot.com