Senin, 15 Juni 2009

Ekologi

Ekologi merupakan salah satu cabang biologi. Yaitu ilmu pengetahuan tentang hubungan antara organisme dan lingkungannya. Atau ilmu yang mempelajari pengaruh faktor lingkungan terhadap jasad hidup. Ada juga yang mengatakan bahwa ekologi adalah suatu ilmu yang mencoba mempelajari hubungan antara tumbuhan, binatang dan manusia dengan lingkungannya di mana mereka hidup, bagaimana kehidupannya dan mengapa mereka ada disitu. Ekologi berasal dari bahasa Yunani “oikos” (rumah atau tempat hidup) dan “logos” yang berarti ilmu. Secara harfiah ekologi adalah pengkajian hubungan organisme-organisme atau kelompok organisme terhadap lingkungannya. Ekologi hanya mempelajari apa yang ada dan apa yang terjadi di alam dengan tidak melakukan percobaan. Dalam ekologi dipelajari bagaimana makhluk hidup berinteraksi timbal balik dengan lingkungan hidupnya – baik yang bersifat hidup (biotik) maupun tak hidup (abiotik) – sedemikian rupa sehingga terbentuk suatu jaring-jaring sistem kehidupan pada berbagai tingkatan organisasi. Di dalam ekosistem, tumbuhan, hewan, dan mikro-organisme saling berinteraksi – melakukan transaksi materi dan energi – membentuk satu kesatuan sistem kehidupan.
Sebagai ilmu pengetahuan yang relatif baru, kelahiran ekologi manusia memang sangat “banyak berhutang” pada ekologi biologi sebagai “ilmu induk”nya. Secara epistemologis, kelahiran bidang ilmu ekologi manusia ditandai oleh proses panjang demistifikasi sejumlah statement of beliefs melalui serangkaian pembuktian empirik demi memahami dan mengkonseptualisasikan realitas keterhubungan antara sistem sosial (lebih tepatnya human system) dan sistem alam (non human system) di biosfer. Qualitative research approach yang dikembangkan para scholars di bidang ini sangat banyak menggunakan gagasan gagasan metaphoric yang di”pinjam” dari konsep-konsep biologi (misal: konsep organisme, kapasitas bertahan hidup, jaringan, kesetimbangan, dan sebagainya) serta sosiologi (misal: konsep konflik, ketimpangan, kooptasi, organisasi sosial dan sebagainya). Metaphoric analysis tersebut telah membuat ekologi manusia mampu menjelaskan gejala-gejala serta hubungan kausalitas yang berlangsung dalam sistem sosio ekologi secara meyakinkan dan absah.
Selain pendekatan kualitatif, riset-riset ekologi manusia kontemporer kini menempuh pula jalur kuantitatif positivistik dengan tools yang sangat rigid. perkembangan bidang ilmu ekologi manusia sesungguhnya telah menempuh perjalanan panjang dan berliku. Pada awalnya, ekologi manusia berkembang melalui antropologi budaya (ilmu yang mempelajari eksistensi komunitas asli yang membina kehidupan di suatu kawasan dengan ekosistem khas seperti hutan atau pesisir). Beberapa ilmuwan juga
menganggap ekologi manusia berkembang melalui jalur geografi budaya (studi tentang geografi masyarakat di berbagai kawasan dengan setting geografi spesifik). Pada taraf berikutnya, sosiologi lingkungan-yang merupakan perkembangan evolusioner bidang keilmuan ekologi manusia di aras sistem sosial-ikut memperkaya dan memperkukuh ekologi manusia sejak ilmu ini turut mengkaji isyu-isyu kehancuran alam dari perspektif konflik sosial dan bekerjanya mekanisme kelembagaan secara fungsional dalam tata hubungan manusia dan alam (Dunlap and Catton Jr, 1979).
Secara ontologis, konsep-konsep ekologi manusia yang digunakan selama ini sebenarnya memang telah dikenal luas dalam disiplin ekologi biologi. Konsep-konsep dasar seperti proses adaptasi dan maladaptasi ekologis untuk mengkaji sekelompok manusia atau komunitas lokal dalam bertahan hidup di suatu kawasan, menjadi gagasan dasar untuk menjelaskan perkembangan sistem sosial masyarakatberdasarkan interaksinya dengan alam. Konsep jejaring sosio ekologis digunakan untuk menjelaskan bentuk hubungan dibangun dalam rangka pengembangan human security system di suatu kawasan maupun pada relung kehidupan tertentu. Sementara itu bentuk-bentuk dinamika hubungan sosial ekologis seperti proses kompetisi, suksesi dan konflik atas sumber-sumber kehidupan atau sumberdaya alam yang menyertai manuver-manuver sekelompok orang dalam mempertahankan proses survival di suatu kawasan (habitat), sangat kentara “meminjam” konsep-konsep yang selama ini digunakan oleh baik disiplin ekologi biologi maupun sosiologi. Sementara itu penjelasan tentang bangun budaya yang terbentuk sebagai akibat interaksi berkelanjutan antara manusia dengan alam, menampakkan betapa kentalnya persenyawaan disiplin ekologi manusia dengan antropologi (cultural and ecological anthropology).
Dari telaah secara epistemologis dan ontologis itu, pada awalnya diyakini bahwa ekologi manusia hanyalah sebuah academic approach untuk memahami suatu gejala sosial di alam. Pertanyaannya, dapatkah kini ekologi manusia mempertahan dirinya sebagai bidang ilmu yang mandiri? Hingga taraf ini, memang (baru) dapat dikatakan bahwa ekologi manusia masih berada dalam fase mencari jati dirinya sebagai “scientific hybrid” yang hadir sebagai konsekuensi dari proses-proses amalgamasi intensif berbagai cabang ilmu-ilmu sosial dan biologi yang telah lebih dahulu lahir. Ekologi manusia sedang dalam proses memantapkan posisinya dalam dunia ilmu pengetahuan (Goldman and Schurman, 2000; Little, 2000). Perkembangan lebih lanjut memberikan bukti kuat bahwa sambil memantapkan diri ekologi manusia juga melakukan “metamorfosa” secara struktural menjadi sosiologi lingkungan dan mematangkan diri menjadi bidang baru: ekologi politik.
Secara axiologis, ekologi manusia diperkaya oleh munculnya fenomena risk society dalam sistem etika dan estetika peradaban modern. Sistem masyarakat berisiko terbentuk sebagai akibat penggunaan teknologi dan gaya hidup modern yang serba “short cut”, eksploitatif terhadap sumberdaya alam, serta serba instant tanpa mengindahkan dampaknya pada generasi mendatang. Munculnya sistem sosial modern yang unsustainable telah menumbuhkan dan menguatkan perhatian para scholars pada eco ethics beraliran etika ekosentrisme (sebagai pengganti aliran antroposentrisme ) bagi kehidupan sosial kemasyarakatan masa depan. Realitas ini dijelaskan dengan baik oleh para ahli sosiologi lingkungan yang memiliki perhatian besar terhadap persoalan ekologi manusia (lihat Buttel, 1987 dan Beck, 1992). Hingga titik ini, ekologi manusia telah menjadi ajang perseteruan akademik para penganut arus-arus utama pemikiran yang seringkali berseberangan satu sama lain. Fakta ini memberikan perkembangan yang menggembirakan karena secara keilmuan kini terdapat beragam pilihan kemungkinan jalan keluar atas suatu persoalan ekologis yang dihadapi oleh alam dan manusia.
Dengan menyadari betapa rumitnya ramifikasi dan ruang lingkup bidang kajian ekologi manusia, hal ini mendorong Micklin dan Poston (1998) untuk mengusulkan proses “metamorfosa” secara totalitas ranah keilmuan ekologi manusia menjadi “the sociology of human ecology”. Gagasan ini dipicu oleh keterlibatan mereka secara mendalam dalam studi-studi ekologi manusia klasik-statik yang melibatkan empat bidang utama (human ecological complex), yang kemudian dikenal sebagai kompleks ekologi POET (Population, Social Organization, Environment, and Technology). Beranjak dari kompleks sistem ekologi ini, Micklin dan Poston memandang perlunya analisis dinamik atas POET. Ada tiga klaster studi sosiologi penting yang kemudian berkembang dalam analisis dinamik sistem sosial ekologi manusia kontemporer, yaitu: people (tata kehidupan dan dinamika manusia dalam konteks biologis), society (tata kehidupan dan dinamika manusia dan alam yang dibangun via pemanfaatan organisasi sosial dan ilmu pengetahuan teknologi yang membentuk konfigurasi sosiobudaya) serta nature (tata lingkungan dan dinamika kawasan yang menjadi tempat hidup serta menjadi “supporting facilities” bagi manusia). Ketiga isyu tersebut menjadi fokus kajian ekologi manusia di akhir abad 20 hingga awal abad 21 saat ini. Sementara itu, dilatarbelakangi oleh dinamika sistem ekologi di kawasan dunia ketiga yang sangat kental diwarnai oleh persoalan struktur dan proses konflik yang kompleks, Escobar (1999) dan Bryant (1998) mendorong ekologi manusia untuk berkembang menjadi ekologi politik melalui inkorporasi disiplin politics, political economics, maupun development studies (terutama aliran radical development theories) ke dalam body of knowledgenya secara terintegrasi.

Konsep dan Asumsi-Asumsi Dasar
Sebagai sebuah bidangilmu, ekologi manusia berkembang dari keniscayaan adanya interaksi manusia (man and culture) dan alam (nature), yang sebenarnya telah berlangsung sejak sejarah mencatat eksistensi kehidupan di planet bumi ini. Bidang ilmu ekologi manusia dibutuhkan kehadirannya dalam dunia ilmu pengetahuan, dikarenakan kemampuannya dalam memberikan landasan teoretik dan konseptual yang berguna untuk memaknai dan memahami fenomena dan fakta hubungan interaksional manusia dan alam serta perubahan sosial dan ekologis (ecological change) yang terjadi di alam. Perubahan ekologis itu, terutama berkenaan dengan munculnya destabilitas ekosistem sejak terjadinya penurunan jumlah dan kualitas sumberdaya alam oleh karena meningkatnya jumlah populasi dan kualitas aktivitas manusia/masyarakat. Perubahan ekologis adalah dampak yang tidak dapat dielakkan dari interaksi manusia dan alam yang berlangsung dalam konteks pertukaran (exchange). Proses pertukaran itu sendiri melibatkan energi, materi dan informasi yang saling diberikan oleh kedua belah pihak (kedua sistem yang saling berinteraksi). Sistem alam dan sistem manusia saling memberikan energi, materi dan informasidalam jumlah dan bentuk yang berbeda satu sama lain (Gambar 1).

Gambar 1 di atas dapat diilustrasikan oleh contoh seperti ini, dalam kehidupan, manusia memerlukan ikan sebagai sumber pangan (protein hewani). Oleh karenanya telah sejak lama manusia memanfaatkan ekosistem laut sebagai penyedia energi dan materi pangan manusia. Untuk menangkap ikan, manusia mengembangkan berbagai macam cara dan peralatan (teknologi) penangkapan ikan (termasuk jaring). Praktek penangkapan ikan yang telah berlangsung berabad-abad memberikan pelajaran asli (indigenous knowledge) yang berguna bahwa, bentuk jaring ikan yang terlalu besar, berkilometer panjangnya, dan menganga terlalu lebar (drift nets semacam jaring trawl) akan membahayakan populasi keseluruhan jenis ikan. Karenanya bentuk jaring yang demikian selalu dihindari oleh nelayan. Alasannya, dengan bentuk jaring yang demikian itu segala macam ikan akan mudah terjebak dalam jaring dan tidak mungkin bertahan hidup di dalamnya. Padahal anak-anak ikan tidak diharapkan untuk ditangkap dan sepantasnya dibiarkan tetap hidup demi untuk menjaga kelangsungan populasi ikan di masa mendatang. Jika tidak, manusia sendirilah yang akan menuai kerugian berupa paceklik ikan di masa mendatang, sebagai akibat matinya semua bibit ikan. Pengetahuan ini merepresentasikan transfer of information dari sistem ekologi ke sistem sosial. Transfer informasi itu menghasilkan pengetahuan lokal (indigenous knowledge) yang berharga, dimana komunitas nelayan mengembangkan organisasi sosial penangkapan ikan berupa pengembangan norma aturan atau kelembagaan yang mengatur tata cara penangkapan ikan termasuk musim-musim yang diperbolehkan dalam menangkap ikan. Sistem kelembagaan seperti ini, di Kepulauan Maluku dikenal sebagai “sistem sasi” atau waktu dimana nelayan tidak diperkenankan melaut untuk memberikan kesempatan ikan berkembang biak dengan sempurna. Demikianlah sehingga interaksi pertukaran materi energ dan informasi antara sistem sosial dan sistem ekologi, menghasilkan reproduksi budaya (pengetahuan, norma, etika, dan nilai-nilai sosial) yang berguna bagi kelestarian kehidupan alam, selain proses produksi dan reproduksi materi itu sendiri. Dalam diskursus ekologi manusia kontemporer, keseluruhan mekanisme pertukaran energi dan materi yang menghasilkan pengetahuan yang penting bagi tegaknya kelestarian sumberdaya alam ini, dikenal sebagai kearifan lokal (local wisdom).
Namun, tidak selamanya proses pertukaran energi dan materi antara sistem sosial dan sistem ekologi berlangsung (dan menghasilkan pengetahuan) dalam suasana kearifan, sebagaimana mekanismenya digambarkan di atas. Pemenuhan kebutuhan hidup manusia yang terus meningkat telah mengantarkan manusia pada suatu fase, dimana manusia terdorong untuk mengembangkan tindakan-tindakan manipulatif berbentuk complex adaptive mechanism yang rumit namun eksploitatif di setiap aras ekosistem mikro-meso-makro di seluruh pelosok planet bumi.
Dari perspektif dinamika kependudukan, krisis ekologi bermula dari jumlah penduduk manusia di planet bumi yang terus meningkat secara signifikan (dua milyar jiwa di akhir abad 19 menjadi sekitar enam milyar jiwa di akhir abad 20). Ledakan populasi manusia itu menyebabkan interaksi manusia dan alam mengalami dinamika yang luar biasa. Dinamika itu menghasilkan perubahan status stabil ke status instabil sebuah ekosistem yang sangat cepat, dimana sebagai konsekuensinya alam mengalami tekanan ekologis yang luar biasa atas perubahan-perubahan tersebut. Destabilitas kesetimbangan ekosistem itu bisa dijelaskan oleh sifat hubungan interaksional antara manusia dan alam yang lebih banyak berada dalam mekanisme pertukaran yang timpang dibandingkan beberapa abad yang lalu manakala jumlah penduduk masih terbatas. Makin terbatasnya ruang kehidupan (Lebensraum) sebagai akibat tekanan penduduk, telah memaksa manusia untuk mengembangkan proses pemanenan energi dan materi yang semakin eksploitatif. Alam dipaksa untuk terus berkompromi terhadap kehadiran manusia yang semakin berlipat jumlahnya. Dua akibat yang pasti dari proses ini adalah: kehancuran lingkungan dan kemiskinan.
Dari perspektif developmentalisme, modernitas peradaban yang disongsong melalui strategi pertumbuhan telah menumbuhkan growth mania syndrome hampir di seluruh negara di dunia. Sindroma ini telah memaksa pemerintahan di setiap negara memacu pembangunan melalui eksploitasi sumberdaya alam secara besar-besaran dan habis-habisan tanpa mengindahkan usaha konservasi secara seimbang. Dalam hal ini alam dipandang sebagai energi pembangunan yang seolah memiliki kemampuan tak terbatas.
Dalam wacana ekologi manusia kontemporer, dikatakan bahwa bidang ilmu ini sangat kuat berkepentingan terhadap persoalan pemenuhan kebutuhan pangan sandang papan dan nafkah manusia, termasuk pemenuhan gizi dan kesehatan masyarakatnya, dimana ekologi manusia dipahami sebagai “human ecology is concerned with organizational aspects of human populations that arise from their sustenanceproducing activities”. Sementara itu, persoalan ekologi manusia kontemporer adalah juga berkutat pada persoalan bagaimana organisasi sumberdaya alam diformulasikanditeguhkan dan dikukuhkan melalui seperangkat norma nilai dan tata-aturan, sehingga ekologi manusia dipahami sebagai adalah “ilmu tentang organisasi sumberdaya alam”, terutama tanah, air dan udara. Dalam konteks ini, studi-studi agraria dan kelembagaan common pool resources (CPR) menjadi sangat relevan dengan bidang ilmu ekologi manusia
Bidang ilmu ekologi manusia memiliki peran yang makin penting untuk menganalisis beberapa isyu kritis perkembangan alam di planet bumi. Pertumbuhan penduduk yang berjalan sangat pesat dan mengarah pada krisis pangan merupakan kekhawatiran pertama tentang kelangsungan hidup umat manusia di planet bumi. Setelah itu, industrialisasi yang memproduksi berbagai sampah berbahaya dan mengancam status kesehatan manusia menjadi ancaman berikutnya. Kehancuran ekosistem hutan, tanah, udara dan air sebagai akibat tekanan penduduk yang makin tinggi serta aktivitas ekonomi yang sangat eksploitatif, merupakan keprihatianan komunitas dunia yang juga dirasakan meluas.

Pergeseran Ruang Lingkup Ekologi Manusia(Dari Antropologi Budaya ke Sosiologi Lingkungan)
Dari perspektif ilmu-ilmu sosial, bidang ilmu ekologi manusia (yang berawal dari sebuah pendekatan untuk memahami persoalan manusia dan alam) menapaki sejarah perkembangan keilmuannya secara khas. Sejak manusia menyadari betapa perubahan ekologi membawa akibat pada berlangsungnya krisis-krisis ekologi (ecological change and crisis) yang mendera makin dalam dan mengancam “daya hidup” manusia, maka sejak saat itulah para sarjana ilmu sosial bersemangat untuk mencari akar persoalan yang bisa menjelaskan krisis dan menanganinya secara lebih komprehensif dari perspektif sosiologi. Dengan demikian, “perjumpaan akademik” ilmu-ilmu sosial dengan ekologi, memang jelas bukannya tanpa kesengajaan dan tidak terjadi secara suka-suka (arbitrary). Sejak saat itulah sebagai bidang ilmu baru, ekologi manusia mengalami perkembangan yang sangat pesat.
Pada akhir abad 20, investigasi teoritik yang mengkombinasikan sosiologi, antropologi dan ekologi menghasilkan persenyawaan baru social dan ecology (the dynamics of human environment interaction) sebagai perluasan studi ekologi manusia. Pada kajian sosial ekologi ditelaah lebih lanjut masalah-masalah sosial dan hukum serta societal dynamics yang terjadi sebagai konsekuensi perubahan ekologi di suatu kawasan. Pada taraf lebih lanjut, “metamorfosa” human ecology menghasilkan cabang ilmu baru sociology of human ecology (lihat Micklin and Poston, 1998). Cabang ilmu baru ini makin berkembang menjadi environmental sociology yang mulai dikembangkan secara meluas oleh public academia sejak akhir abad 20 (lihat Redclift and Woodgate, 1997 dan Dunlap et. al, 2002). Metamorfosa “ekologi manusia” sebagai scientific field tidak berhenti sampai di situ karena perjumpaannya dengan political economics, menghasilkan cabang keilmuan baru yang mulai banyak diminati para sarjana ilmu sosial, yaitu political ecology (ekologi politik) yang didominasi oleh tradisi pemikiran ala historical materialism Marxian dengan atmosfer konflik yang sangat kuat (lihat Forsyth, 2003; Robbins, 2004).
Jika perjalanan ekologi manusia ditilik kembali ke tahap awal perkembangannya, maka dapat disimpulkan bahwa sosiologi dan ekologi tanpa disadari sebenarnya telah bersenyawa sejak semula (membentuk ekologi manusia) karena mereka memang “saling membutuhkan”. Secara epistemologis, persenyawaan itu dimulai sejak adanya kegundahan pada pertanyaan ala Malthusian tentang: “bagaimana manusia dan komunitasnya seharusnya memelihara ekosistem agar mereka mampu menetralisasi ketidaksetimbangan ekologis sehingga perjalanan survival dapat dilanjutkan hingga melampaui lebih dari satu generasi”. Hingga titik ini, konsep-konsep ekologi klasikal seperti adaptasi ekologi dan socio ecological adjustment disertai konsep kompetisi suksesi menjadi konsep-konsep dasar yang sangat penting untuk meretas jalan pemahaman ekologi manusia. Fokus perhatian investigasi teoritik pada tataran ini dengan sengaja menuju pada upaya pemetaan pola-pola adaptasi ekologi spesifik/khas lokalistik yang dilakukan oleh sistem-sistem sosial “kecil terisolasi” (dalam bahasa developmentalisme mereka sering dilabelkan secara keliru dengan istilah “suku terasing”). Pemahaman terhadap peta budaya sistem masyarakat kecil ini menghasilkan peta yang lengkap tentang pola-pola adaptasi ekologi komunitas asli (misal: Komunitas Dayak di Kalimantan, Komunitas Anak Dalam di Sumatera, Komunitas Baduy di Jawa, Komunitas Dani dan Amungme di Papua). Pada titik ini ekologi manusia menjadi tak ada bedanya dengan disiplin cultural anthropology yang memulai investigasi teoritiknya dengan fokus kajian sistem statik pada homeostasis10 yang dihadapi oleh suku-suku asli di pelosok dunia. Dalam hal ini ekologi manusia mengembangkan penjelajahan pengamatan dan analisisnya ke sistem-sistem sosial masyarakat yang lebih diverse yaitu: masyarakat pertanian, perkotaan dan industri serta masyarakat global.

0 komentar:

Template by : kendhin x-template.blogspot.com